Di tengah ancaman penyebaran
virus corona, wartawan tetap berjibaku mencari berita. Meskipun sejarah mencatat
wartawan kerap heroik menembus isu-isu sulit, tapi kali ini virus corona bikin
keder juga. Di tengah wabah dan ketakutan yang menyergap, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim membatalkan pelaksanaan UN di
tahun 2020. Kebijakan dari Mendikbud ini tampaknya tumben tidak akan
jadi polemik. Sebagai wartawan di desk pendidikan, saya merasa nyawa saya
diselematkan.
Agenda pendidikan di saat-saat
ini sebenarnya sedang padat: UN SMK, SMA, SMP, dan ujian sekolah SD secara
bergiliran digelar sejak 16 Maret 2020. Belum lagi selain ujian nasional ada
juga ujian sekolah dan uji kompetensi keahlian bagi SMK, yang syukurnya semua
itu dibatalkan. Setelah rangkaian ujian nasional, rangkaian Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB) yang relatif panjang juga akan tiba.
Bagi saya yang bekerja di desk
pendidikan, agenda yang padat itu mengharuskan saya untuk mencari berita secara
langsung, tidak bisa sekadar menelpon narasumber dari jauh, atau bertanya via whatsapp, pasti si narasumber akan
menyebut pelaksanaan baik-baik saja dan tidak ada hambatan. Kantor memang
meminta wartawannya bekerja dari rumah. Namun, mana bisa saya menerapkan salah
satu kunci jurnalisme yang digaungkan oleh buku-buku jurnalistik yaitu disiplin
verifikasi kalau tidak langsung melihat pelaksanaan ujian nasional. Sedangkan kalau
mau keluar liputan, wabah corona mengintai dan kita tak bisa menebak virus itu
ada di mana.
Saya bekerja di koran lokal di
Pulau Lombok, NTB. Sampai dengan tanggal 25 Maret 2020 sudah ada dua orang yang
dinyatakan positif di Lombok. Memang tidak (atau belum) sebanyak di daerah
lain. Namun, tetap saja jumlah itu kian mengkhawatirkan, apalagi luas Pulau
Lombok 27 kali lebih kecil dibandingkan Pulau Jawa. Ancaman penyebarannya
sungguh sangat serius.
Di tengah kondisi itulah, saya
merasa beban pekerjaan saya menjadi ringan ketika Mendikbud memutuskan UN
dibatalkan melalui Surat Edaran Mendikbud nomor 4 tahun 2020 tentang
pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran coronavirus disease (COVID-19). Saya
tidak perlu lagi secara langsung memantau pelaksanaan UN. Apalagi liputan di
tengah virus corona ini cukup merepotkan.
Seperti saat pelaksanaan UN SMK
lalu, di protokol pencegahan penyebaran virus corona mengharuskan sekolah menyedikan
pembersih tangah atau hand sanitizer.
Koordinator liputan meminta saya untuk melihat langsung apakah benar sekolah
menyediakan berbagai sarana untuk pencegahan penyebaran virus corona. Padahal
saat itu saya merasa sedikit pusing dan tidak begitu fit, tapi demi tugas saya
beranikan diri untuk keluar liputan, mewancarai kepala sekolah, mengambil foto,
dan terpaksa menyambut ajakan bersalaman orang-orang di sekolah.
Saya memang membawa hand sanitizer dan berusaha mengikuti
upaya pencegahan penyebaran corona. Memang saat itu belum ada kasus positif
corona di Lombok. Namun di dalam hati, rasa waswas itu tetap saja ada. Apalagi jumlah
siswa kelas XII di SMK yang saya liput tadi mencapai 700 orang, mereka antri
menggunakan hand sanitizer yang
disediakan sekolah. Virus corona bisa saja ada di sana dan siap menyebar. Duh.
Perasaan khawatir semakin
menguat ketika pemerintah daerah mengumumkan pasien positif corona pertama di
NTB. Bagaimana tidak risau, agenda ujian nasional yang cukup padat sudah siap menghadang
saya. Saya sudah membayangkan para siswa dari berbagai daerah dan keluarganya yang
memiliki mobilitas beragam—yang telah bersentuhan dengan banyak benda dan
bercengkrama dengan banyak manusia—akan berkumpul di satu sekolah. Kita tidak
tahu mereka sehat-sehat saja atau tidak.
Dengan dibatalkannya ujian nasional,
saya tidak perlu harus memantau secara langsung pelaksanaan ujian nasional.
Pimpinan di kantor juga sudah meminta kami meminimalisir bertemu narasumber
secara langsung. Liputan diusahakan lengkap melalui konfirmasi jarak jauh, yang
sebenarnya kurang tepat jika mengacu pada kaidah peliputan yang benar. Namun,
di tengah kondisi ini dengan imbauan untuk menjaga jarak dan berdiam dulu di
rumah, pilihan meminimalisir liputan yang bertemu orang secara langsung
sangatlah tepat.
Berita dari wartawan memang
dibutuhkan masyarakat di tengah hoaks yang tumbuh dengan pesat. Namun kita
tidak tahu narasumber sudah terjangkit virus corona atau tidak, seperti para
wartawan yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP) virus corona setelah
mewawancarai Walikota Bogor, Bima Arya yang berstatus positif corona. Pilihan
bekerja dari rumah dengan tetap mematuhi kaidah jurnalistik memang mau tidak
mau harus saya lakukan. Bagaimana pun, tidak ada berita seharga nyawa. (*)
Komentar
Posting Komentar