(Metro Riau, 27 Januari 2013)
Oleh: Atanasius Rony Fernandez
Temaram lampu yang mulai menyala di sebuah taman
menyadarkan dari lamunanku. Lamunan akan sesosok wanita yang akan datang menghampiri nanti. Di taman nan asri ini aku menunggu
sesosok wanita yang tampak sangat manis seakan
diteteskan madu di sekujur wajahnya.
Senja mulai berganti
wajah dengan gelap yang dibawa malam. Taman kota ini mulai dipenuhi dengan para
muda-mudi yang siap menuntaskan penat di akhir pekan. Aku menyapukan pandangan ke seluruh taman untuk mencari
sosok wanita yang akan kutemui malam ini, sebut saja ia wanitaku. Mataku
tiba-tiba bertemu dengan gerobak pedagang jagung bakar, panganan yang sangat
disukai wanitaku. Aku kemudian memesannya, lumayan sebagai temanku untuk duduk
di bangku taman.
Jagung bakar mengingatkanku dengan wanitaku yang sedang aku
tunggu itu. Kali pertama ketika kami memutuskan menjalin tali asih sebagi
sepasang kekasih kami memakan jagung bakar di taman ini, persis di akhir pekan,
ketika muda-mudi lainnya menikmati malam dengan pasangan mereka. Kata orang
taman ini romantis, namun bagiku ia akan menjadi romantis ketika kau sedang
bersama pasanganmu, namun ketika kau sendiri, kesunyian yang kau bawa akan
menyayatmu melalui setiap senyum dan tawa yang dibawa oleh muda-mudi di
sekelilingmu.
Baru sekerat aku memakan jagung bakar, munculah wanitaku di ujung taman sana. Sungguh wajahnya sangat manis, wajah yang dihiasi hidung mancung dengan sepasang mata yang besar, kemudian dilengkapi dengan senyum anggun dari bibirnya. Namun sepertinya ia terlihat begitu lelah malam ini. Tidak, tidak hanya malam ini saja ia terlihat begitu letih, sebagai seorang yang berprofesi sebagai akuntan internal sebuah perusahaan otomotif terkemuka, ia selalu terlihat lelah. Aku sendiri sebenarnya tidak enak hati ketika mengajaknya bertemu malam ini, namun rasa rindu yang begitu menggebu memaksa aku mengajaknya bertemu. Sudah hampir sebulan aku tidak pernah bertemu dengannya, hanya berkomunikasi melalui jejaring sosial saja, dan itu sungguh membosankan.
Wanitaku mengambil duduk di sisiku, ia tidak berkata apa-apa.
Langsung ia mematung dengan sebuah telepon genggam di tangannya. Telepon genggam
canggih keluaran terbaru yang selalu membuat aku cemburu, ia memiliki waktu
yang begitu banyak untuk memainkan telepon genggamnya sembari berselancar di
dunia maya, namun ia tak punya cukup waktu untuk menelepon aku atau bertemu
barang beberapa menit saja setiap harinya.
Terus aku perhatikan wajah manisnya, sesekali ia tersenyum
memandang telepon genggam di tangannya. Sungguh senyumnya ketika menatap layar
telepon itu, serasa menggores hatiku.
“Kau mau jagung ?” aku tanyakan kepada wanitaku, ia biasanya
memang sangat suka dengan jagung bakar, terutama yang ada di taman ini.
“Boleh” kata wanitaku, sambil memperbaiki posisi duduknya,
“yang rasa manis ya.”
Ia berkata tanpa menatap mataku, aku benar-benar cemburu
dengan telepon genggam di tangannya itu. Atau memang dia sedang berhubungan
dengan lelaki lain melalui telepon genggamnya. Seketika itu pula aku tepiskan
pikiran seperti itu dari otakku, aku tak mau berfikir negatif untuk hal yang
belum aku tahu sepenuhnya.
Segera aku memesan jagung bakar, kemudian kembali duduk di
dekat wanitaku. Ah, sungguh malam ini ia terlihat begitu cantik, sepuhan cahaya
rembulan yang sedang purnama di wajahnya kian mempertegas kecantikan, ditambah
dengan dandanan elegan khas seorang wanita karier. Benar-benar aku tak rela
jika harus melepasnya.
Angin malam menghantarkan dingin yang menusuk pori-pori
kulitku. Dingin juga aku rasakan ada di tengah-tengah kami. Wanitaku masih
tenggelam di dalam dunia maya yang ada di telepon genggamnya. Aku hanya bisa
bergidik sembari mengerat sedikit demi sedikit jagung bakar yang ada di genggaman,
sambil sesekali memandang lampu taman yang menyala sekenanya menghiasi
ruas-ruas taman.
Aku sempat teringat bagaimana dahulu, sekitar dua tahun yang
lalu ketika kami baru saja merasakan sebagai sepasang kekasih. Aku dan wanitaku
hampir setiap malam minggu menikmati kebersamaan di taman kota ini, sebuah
taman yang menjadi simbol tempat para pasangan merayakan cinta mereka. Kami
selalu bercerita panjang lebar tentang berbagai hal yang kami anggap menarik. Ketika
masa itu, semua hal kami anggap menarik asalkan kami berdua bisa bersama.
Sambil bergenggaman tangan kami memandang cahaya rembulan yang muncul dari
sela-sela pepohonan yang ada di atas kami, tak ada apapun yang mampu memisahkan
aku dan wanitaku, ketika itu.
Namun semua mulai berubah ketika wanitaku diterima bekerja di
perusahaan otomotif itu, sedangkan aku bertahan sebagai seorang penulis
serabutan yang hidup dari honor menulis tiap minggunya. Malam minggu tidak lagi
seperti malam minggu di awal kami bertemu, jarang sekali kami dapat menghabiskan
waktu menatap rembulan sambil berbincang panjang lebar lagi. Tak ada malam
minggu-malam minggu seperti dahulu, tidak ada lagi pertemuan rutin seperti para
sejoli lainnya yang merengguk kasih di malam minggu.
Lamunanku terhenti ketika jagung bakar pesananku datang, langsung
kuberikan kepada wanitaku. Ia menerimanya, masih dengan tetap terpaku menatap
layar telepon genggamnya. Baru sekerat ia memakan jagung itu, ia malah mulai
bersiap untuk beranjak pergi meninggalkan pertemuan langka kami.
“Mau kemana ?” tanyaku dengan sedikit bingung.
“Ada teman kantor yang mau ketemu.” ia bangun dari bangku
taman, “ada masalah penting yang harus diselesaikan, maaf ya.” Seketika itu ia
berlalu.
Aku hanya bisa melongo menyaksikan tubuh wanitaku menghilang
di jalan raya sana. Pertemuan yang kuharapkan akan berlangsung romantis hanya
berakhir tragis malam ini. Kembali aku mendengar derai tawa muda mudi lainnya
yang sedang menikmati cahaya rembulan menyirami tubuh mereka. Tawa-tawa yang
membuat aku harus memilih pergi agar hatiku tidak semakin tersayat dengan
kesendirian
***
Malam minggu berikutnya tak juga dapat aku mengajak wanitaku
bertemu. Begitu juga malam minggu-malam minggu berikutnya. Sudah hampir tiga
bulan aku tidak pernah berkomunikasi secara langsung dengan wanitaku, ia bagai
tertelan dengan rutinitas kantornya yang sangat padat, begitu katanya.
Entahlah, aku mulai bosan dengan kesendirian yang aku
rasakan. Aku rindu dengan sosok wanitaku yang dahulu, ketika kami baru
merasakan kenikmatan sebagai sepasang kekasih yang begitu bergelora menyuburkan
benih-benih kasih di hati kami berdua.
Rasa penasaran akan keberadaan wanitaku memaksa aku untuk
mencarinya. Aku memutuskan untuk mencari di rumahnya yang berada di perumahan
elit, letaknya tidak begitu jauh dengan taman tempat kami biasa bertemu.
Malam minggu kesekian tanpa pertemuan dengannya menuntun aku
untuk mengayuh sepeda tuaku menuju rumah wanitaku. Rembulan menampilkan dirinya
sebagai sebuah sabit yang menantang di atas langit, seakan memberikanku
semangat untuk terus mengayuh menuju rumah wanitaku.
Sampailah aku di ujung jalan rumahnya. Kerlap kerlip lampu
menghiasi beranda rumah wanitaku. Ada sebuah tenda yang menutup jalan depan
rumahnya, dihiasi jejeran kursi berbalut kain putih yang diduduki oleh
orang-orang dengan pakaian necis. Sepertinya ada pesta di rumah wanitaku, tapi
kenapa ia tidak mengundangku. Sempat ada api mencuat dari dadaku mengetahui
jika wanitaku tidak mengundangku di acara yang diadakan di rumahnya.
Aku beranikan diri untuk mendekat di rumah wanitaku. Ketika
sampai di depan rumahnya, aku mengulurkan kepala melihat apa gerangan yang
sedang terjadi di dalam rumahnya. Sontak aku terkaget melihat apa yang ada di
dalam sana. Jantung seakan berhenti sejenak memompa darah, kepalaku menegang
dengan sangat kuat, mulutku melongo menahan takjub, dan keningku berkerut
membentuk mataku yang memicing memandang peristiwa yang terjadi di dalam rumah
wanitaku.
Ternyata wanitaku bukan wanitaku lagi, ia duduk berdampingan
bersama seorang pria dengan senyum tersungging di ujung bibir mereka, serta
tangan yang saling berpegangan. Tepat di atas pelaminan.
Mataram, Oktober 2012
Komentar
Posting Komentar