Teman-teman
atau orang-orang dekat saya pasti akan mengetahui saya sebagai orang yang
pemalu dan bahkan cukup lamban dalam beberapa hal. Lantas bagaimana bisa saya
bertahan di dunia jurnalistik selama empat tahun belakangan ini? Ada beberapa
nama dan wadah yang mempengaruhi keinginan saya tetap bertahan di dunia
jurnalistik, sekaligus menguatkan saya bahwa seorang pemalu dan sulit untuk
bisa berkomunikasi dengan orang baru, bisa tetap bertahan di dunia jurnalistik.
Pertama,
saya harus berterima kasih kepada Tabloid
Bola, sebuah tabloid olahraga terbesar yang pernah dimiliki negara ini. Sayangnya
tabloid itu sudah tutup. Masa-masa remaja saya diisi dengan keriangan membaca Tabloid Bola. Ketika SMP kelas I, saya
mulai menyisihkan uang jajan untuk membeli tabloid Bola yang saat itu terbit
dua kali dalam seminggu pada hari Selasa dan Jumat. Harganya kalau tidak salah
di kisaran Rp3.500 sampai dengan Rp5.000, saya tak ingat persis, karena dalam
waktu yang relatif singkat harganya naik.
Ada
salah satu rubrik di Tabloid Bola yang
memancing saya memiliki ketertarikan menjadi seorang jurnalis. Kalau tidak salah,
lagi-lagi saya menggunakan frase ‘kalau tidak salah’ karena ingatan saya yang
tidak terlalu baik, ada rubrik berupa surat dari jurnalis Bola yang ditugaskan meliput sebuah event olahraga di luar negeri. Di rubrik, itu jurnalis Bola menceritakan perjalanan dan apa
saja pengalaman peliputan yang menarik bagi mereka. Misalnya bagaimana mereka
berusaha mendapatkan id card resmi
untuk peliputan, bagaimana mereka berusaha berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tarzan, bagaimana mereka membuat nasi uduk di penginapan, bagaimana
mereka datang langsung ke Afrika Selatan dan melihat ternyata Afrika Selatan
tidak seburuk yang dibicarakan banyak orang tentang tingginya kriminalitas di
sana. Dan hal-hal menarik lainnya.
Semua
itu membuat saya membayangkan tentang luar negeri, tentang sesuatu yang tidak
bisa saya gapai. Keluarga saya bukan golongan keluarga yang akan mengajak
keluar kota atau berpergian saat liburan. Kehidupan dunia luar jauh dari
bayangan saya. Masa remaja saya banyak dihabiskan di kamar dengan novel dan
komik pinjaman yang dibawa kakak perempuan saya, serta tumpukan Tabloid Bola, yang sayangnya karena kami
kerap berpindah-pindah rumah Tabloid Bola
itu tidak bisa terselamatkan.
Rubrik
tadi itu senantiasa membuat saya bergairah, membayangkan berpergian dan
menjalani kerja-kerja jurnalistik di tempat yang baru dalam balutan gairah event olahraga mungkin menyenangkan
dalam bayangan saya.
Sosok
kedua, yaitu Unit Kegiatan Pers Kampus (UKPKM) Media Universitas Mataram (Unram),
sebuah lembaga pers mahasiswa di Unram. Saya mulai menyukai dunia menulis saat
tulisan saya dimuat pada tabloid sekolah di SMAN 3 Mataram. Saya semakin yakin
ingin menjadi penulis atau jurnalis ketika tulisan saya ternyata bisa disukai
orang lain. Sebelum kuliah, saya sudah berusaha mencari-cari sebuah wadah yang
nantinya bisa menjadi tempat saya melatih kemampuan menulis. Akhirnya saya
menemukan UKPKM Media Unram. Saya belajar banyak dari para senior dan
teman-teman seangkatan atau junior di sana. Saya mulai membuka diri atau lebih
tepatnya pikiran saya terbuka terhadap dunia. Saya mulai mengikis rasa malu
saat terpilih menjadi Pemimpin Umum di tahun 2013. Selama satu tahun menjadi
pemimpin umum, saya benar-benar dihantam dengan kenyataan bahwa dunia ini
memang penuh tantangan dan tidak baik-baik saja. Saya banyak membuat kesalahan,
dan dari sana saya tahu bahwa setiap keputusan dan apapun yang kita bicarakan
akan selalu memiliki risiko.
Saya
belajar tentang jurnalistik lebih serius di Media Unram, saya akhirnya tahu apa
itu angle, lead, piramida terbalik, bagaiman cara melakukan liputan,
bagaimana menyusun perencanaan liputan, bagaimana merancang sebuah kalimat
jurnalistik, mengapa kalimat jurnalistik berbeda dibandingkan tulisan pada
umumnya seperti yang kita pelajari di bangku sekolah dan berbagai hal teknis
tentang jurnalistik. Termasuk belajar bertanggungjawab pada tugas-tugas
jurnalistik, yang sejujurnya sampai saat ini saya menyesal tidak benar-benar
menghasilkan karya jurnalistik yang hebat saat masih di Media Unram.
Di
Media Unram saya menemukan keluarga. Sosok pemalu dan tidak memiliki banyak
teman seperti saya menemukan sebuah wadah yang sangat nyaman untuk menjadi tempat
belajar dan bertarung dalam mengasah kemampuan.
Ketiga,
saya berterima kasih kepada rekan-rekan di Media Unram, yang pernah saya kenal
termasuk para alumni. Namun, jika harus memilih satu nama, saya harus berterima kasih kepada bang Ismail Zakaria. Saat saya masih di Media Unram, salah
satu kabar dari alumni yang sangat membuat saya bersemangat adalah diterimanya
Bang Mail, sapaan Ismail Zakaria, di harian Kompas. Sejak SMA saya sudah
membaca Kompas dan sangat menyukai cara Koran itu menyajikan berita. Bisa dikatakan
Koran terbesar saat ini.
Dalam
satu kesempatan, bang Mail pulang ke Lombok setelah mengikuti pelatihan menjadi
wartawan Kompas selama beberapa waktu di Jakarta. Ia memberikan materi tentang
berita. Saat itu kebetulan dan saya bersyukur menjadi Pemimpin Redaksi di Media
Unram. Bang Mail dalam beberapa kesempatan berbincang hanya kepada saya terkait
berita, ia menjelaskan secara sangat teknis menyusun berita mulai dari judul,
lead, tubuh berita, sampai ekor berita. Saya benar-benar tercerahkan, saat itu
saya tidak benar-benar menguasai penulisan berita yang baik. Bang Mail menjadi
malaikat penyelamat yang memberikan kabar bahagia tentang jurnalistik. Tulisan ini
tidak mengecilkan peran senior lainnya, cuma ya kebetulan saja saat bang Mail
menyampaikan tentang teknis penulisan berita, saya benar-benar mendengarkan
dengan baik. Ada banyak senior lain di Media Unram yang mempengaruhi hidup
saya. Namun mungkin saya akan tulis dalam tulisan yang lain. Sebelum momen itu,
saya tidak begitu dekat dengan bang Mail. Setelah itu, saya akhirnya punya
kesempatan ditraktir setiap kali ia pulang ke Lombok saat mengambil cuti.
Ke
empat, saya berterima kasih kepada Suara NTB, tempat saya bekerja saat ini. Lingkungan
kerja yang penuh kekeluargaan di Suara NTB membuat saya yang pemalu dan sedikit
lamban ini cepat beradaptasi dan terus berusaha berkembang. Orang-orang di
Suara NTB bukan hanya sebatas rekan kerja, mereka keluarga yang akan membuatmu
nyaman dan berusaha berkarya sebaik-baiknya agar bisa tetap hidup dan berkarya
bersama. Mulai dari pimpinan sampai loper dan satpam adalah orang-orang terbaik
di dunia kerja manapun. Saya agak berlebihan mungkin, tapi ya ndak apa-apa sih.
Ke
lima, ada satu orang di Suara NTB yang darinya saya mendapatkan banyak
pelajaran berharga. Sebenarnya jika dirincikan satu per satu, saya bisa belajar
banyak juga dari orang-orang hebat lainnya di Suara NTB. Namun dalam tulisan
ini saya ingin berterima kasih kepada satu orang, dengan tentu tanpa mengurangi
rasa hormat kepada teman-teman lainnya. Orang itu adalah Haris Mahtul alias
Haris Al Kindi. Ketika pertama kali masuk ke Suara NTB, secara tidak langsung
saya berada di bawah bimbingan bang Haris dalam tim Liputan Khusus (Lipsus). Sebagai
orang yang minim pengalaman di dunia jurnalistik, saya belajar banyak darinya
mengenai ketekunan, kerja keras, keuletan mencari bahan berita, sampai hal
remeh tentang percintaan. Bang Haris pandai menjadikan dirinya seorang senior
yang dicintai juniornya, mungkin ini berkat pengalamannya yang banyak dalam hal
lain, demi kebaikan bersama saya tidak perlu merincikan tentang hal lain itu. Ia juga tipikal orang yang agak jarang marah
secara terbuka dan bersikap tenang dalam menyikapi suatu masalah. Salah satu
yang menarik adalah ia mengajarkan bahwa menjadi orang hebat tidak perlu
membuatmu menjadi pongah.
Ke enam adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram. Di sana saya belajar bahwa jurnalistik memiliki ketentuan yang wajib dipatuhi. Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik harus dipatuhi. Dari orang-orang di AJI Mataram saya belajar untuk berkarya dengan penuh integritas dan berusaha terus menghasilkan karya yang baik.
Ke enam adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram. Di sana saya belajar bahwa jurnalistik memiliki ketentuan yang wajib dipatuhi. Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik harus dipatuhi. Dari orang-orang di AJI Mataram saya belajar untuk berkarya dengan penuh integritas dan berusaha terus menghasilkan karya yang baik.
Jika
ingin merincikan lagi, saya bisa membuat daftar ucapan terima kasih yang sangat
panjang. Namun dalam kesempatan ini, cukup sampai di situ dulu. Saya membuat
catatan ini hanya untuk pengingat bahwa saya memiliki cita-cita sejak remaja
dan seharusnya terus berupaya menghasilkan karya terbaik. Dan di dunia ini,
kita bisa memetik banyak pelajaran dari mana saja.
(12 Juni 2019)
Komentar
Posting Komentar