Ruang Sempit Pejalan Kaki



Oleh: Atanasius Rony Fernandez
(Koordinator Litbang UKPKM MEDIA Unram) 
Saya tertarik pada foto yang ditampilkan harian Suara NTB pada selasa, 3 Maret lalu. Foto yang ditempatkan di halaman kedua harian ini menampilkan trotoar yang beralih fungsi menjadi tempat parkir. Saya tidak begitu kaget melihat foto itu, karena di berbagai sudut Kota Mataram pemandangan yang serupa banyak sekali tersaji.
Trotoar tentu difungsikan sebagai tempat untuk pejalan kaki melangkahkan kakinya. Ruas-ruas jalan beraspal dilalui oleh berbagai kendaraan bermotor yang silih berganti dengan kecepatan beragam melewati ruas-ruas jalan beraspal. Sedangkan trotoar, memberikan wadah bagi siapa saja yang hendak melangkahkan kakinya melewati ruas-ruas jalan dengan rasa aman. Trotoar yang dibuat sedikit lebih tinggi atau berbeda dari jalan sekitar atau dari jalanan aspal adalah buktinya.
Sayangnya, tidak demikian yang terjadi pada kehidupan nyata di berbagai ruas jalan di sepanjang Kota Mataram. Banyak kita melihat trotoar yang seharusnya digunakan oleh para pejalan kaki, tapi dialihfungsikan sebagai tempat parkir, seperti yang ditampilkan harian ini. Atau trotoar itu beralihfungsi menjadi tempat menjajakan dagangan oleh para pedagang kaki lima. Seperti yang seringkali  ditemui di sekitar ruas jalan majapahit atau jalan airlangga atau ruas-ruas jalan padat lainnya di Kota Mataram, terutama di sore atau malam hari. Untuk menyebutkan contoh lainnya, banyak sekali yang bisa disajikan.

Ini menyebabkan para pejalan kaki harus tersingkir, dan memilih berjalan di luar trotoar. Bahkan lebih parahnya lagi, saat trotoar itu dijadikan tempat menjajakan dagangan dan ditutupi oleh beranekaragam tempat jamuan oleh para penyedia warung, para pejalan kaki harus menyingkir hingga ke badan jalan akibat kendaraan para pembeli yang diparkir di samping trotoar dan memenuhi bahu jalan.
Sebagai sebuah kota yang sedang berkembang, akses bagi pejalan kaki untuk menggunakan trotoar sebagaimana fungsinya harus terjamin. Masalah keterjaminan penggunaan trotoar bagi pejalan kaki tidak hanya sebatas pemberiaan kesempatan menggunakan trotoar dengan nyaman. Ada masalah lain juga yang mengikutinya. Jika kita telisik, penggunaan lahan trotoar sebagai tempat parkir atau lahan berdagang para pedagang kaki lima membuktikan Kota Mataram sangat minim memiliki ruang-ruang terbuka publik.
Kuantitas kendaraan bermotor setiap tahunnya kian meninggi, akibat kredit sepeda motor yang mudah dijangkau oleh masyarakat kelas menengah. Meningginya angka kendaraan bermotor tidak diikuti oleh fasilitas publik yang memberikan lahan parkir yang sepadan dengan jumlah kendaraan. Di pusat-pusat keramaian dan pertokoan di wilayah Cakranegara misalnya, mobil dan sepeda motor terparkir di bahu jalan. Bahkan jika sedang berada di masa hari raya atau libur tahun ajaran baru, kendaraan bermotor sangat padat memenuhi ruas jalan. Ruas jalan kian menyempit, terlebih lagi bagi pejalan kaki, hampir tak ada ruang untuk melangkahkan kaki.
Begitu juga dengan pesatnya pertumbuhan perekonomian di Kota Mataram. Jumlah kelas menengah yang kian meningkat, toko-toko waralaba yang mulai berjamur, dan berbagai pembangunan di sana-sini memancing masyarakat mencari celah untuk mencari keuntungan. Salah satunya adalah dengan menjajakan dagangan apa saja di kios-kios pedagang kaki lima. Parahnya, dengan tidak adanya tempat yang memadai dalam menjajakan barang dagangan, para pedagang kaki lima itu dengan mudah saja menggunakan ruas trotoar atau lahan-lahan pinggir jalan untuk berjualan. Padahal tempat itu adalah ruang terbuka publik yang tidak bisa seenaknya dijadikan tempat berniaga atau tempat memarkir kendaraan bermotor.
Pemandangan dengan trotoar yang tidak sesuai dengan penggunaannya membuat berbagai ruas jalan Kota Mataram terasa sumpek. Sebagai seorang pejalan kaki, saya sendiri merasakan denyut nadi Kota Mataram terasa begitu sesak. Langkah kaki di ruas trotoar selalu terjegal oleh kendaraan bermotor dan pedagang kaki lima yang menghadang. Ruang-ruang publik terasa sekali sangat minim.
Pemerintah sepertinya abai melihat kondisi ini, memang banyak sekali dalam pemberitaan kita melihat beragam upaya pemerintah untuk menghalau para pengendara kendaraan bermotor yang memarkir kendaraan di sembarang tempat. Atau upaya pemerintah yang mengusir para pedagang kaki lima yang berdagang di sembarang tempat. Tapi upaya itu hanya bersifat sporadis belaka, tak ada upaya lebih jauh yang bisa menjaga ruang publik bagi pejalan kaki tetap sebagaimana mestinya.
Di edisi dan halaman yang sama dengan foto yang saya sebutkan di awal tulisan, ada juga pemberitaan tentang pernyataan wakil ketua DPR RI, H. Fahri Hamzah yang menyatakan Kota Mataram harus disiapkan sebagai kota metro di Indonesia. Berita itu berkaitan juga dengan ruang publik bagi masyarakat yang saya ulas dalam tulisan ini. Jika pernyataan Fahri Hamzah diikuti oleh pemerintah daerah, maka pembangunan infrastruktur kian marak terjadi di Kota Mataram. Seperti kita ketahui, kota Metro senantiasa membawa “hantu” di belakangnya. Seperti kepadatan penduduk, kemiskinan, dan tata ruang padat yang akan menghantui.
Kita semua tentu berharap Kota Mataram bisa menjadi kota yang ramah bagi siapa saja, termasuk pejalan kaki. Cara untuk mengentaskan masalah sempitnya ruang pejalan kaki di trotoar adalah melapangkan ruang publik terutama ruang bagi pejalan kaki. Pertama, pemerintah sebagai pengambil kebijakan mengatur dengan ketat peraturan tentang parkir kendaraan bermotor. Tidak hanya dengan melakukan penindakkan tegas bagi pengendara yang menyalahi aturan memarkir kendaraanya. Pemerintah juga setidaknya menyediakan sebuah gedung parkir yang terletak di berbagai pusat keramaian dan mudah dijangkau. Sehingga para pengendara tidak lagi memiliki alasan untuk memarkir kendaraannya secara sembarang.
Kedua, pemerintah bisa membuka lahan yang nyaman dan terbuka bagi para pedagang kaki lima di sekitar pusat keramaian. Sebuah tempat yang tidak mengganggu pengendara di jalan raya atau para pejalan kaki. Sehingga ruas-ruas jalan dan trotoar tidak lagi disesaki oleh pedagang kaki lima. Kedua hal itu dapat berjalan dengan baik jika ditunjang dengan kontrol yang ketat dari pemerintah Kota Mataram.
Selain itu, pemerintah harus benar-benar memperhatikan setiap pembangunan di berbagai sudut kota Mataram. Apakah bangunan-bangunan itu tidak memberikan dampak negatif bagi keindahan kota, semisal pembangunan gedung pusat perbelanjaan yang akan menarik para pedagang kaki lima berjualan di sekitarnya. Lantas diikuti dengan para pembeli yang mulai padat dan membuat ruas jalan kian menyempit. Hal-hal seperti itu harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan masak-masak, tidak hanya sekadar melihat hadirnya investor yang melakukan pembangunan sebagai perwujudan kota yang kian maju.
Jika trotoar dan ruang publik bagi pejalan kaki dapat menjadi lapang seperti seharusnya. Maka kita akan dapat melihat Kota Mataram sebagai kota yang indah dan tidak sesak di sepanjang jalan. Jika itu dapat terwujud di suatu hari nanti, kita akan melihat banyak pejalan kaki yang menghabiskan waktu dengan berjalan menikmati Kota Mataram saat pagi, sore, atau malam hari dengan perasaan yang sejuk dan lapang.

Komentar