Supir dan Angkutan Kota Terakhirnya

(Radar Surabaya, 7 Oktober 2012)


Oleh : Atanasius Rony Fernandez
Terik sinar matahari menyirami seluruh kota dengan cahayanya yang panas. Jalan-jalan protokal dipenuhi dengan lalu lalang kendaraan roda dua dan roda empat, lengkap dengan kesibukan mereka. Debu dan asap kendaraan berbaur menjadi satu menimpa tubuh-tubuh orang yang sibuk dengan kendaraan mereka masing-masing. Jalan raya ini benar-benar mengalunkan aroma panas yang menyengat tubuh.
Di tengah lalu lalang kendaraan yang hilir mudik dengan arah yang beragam, sebuah kendaraan angkutan kota berwarna kuning cerah melaju dengan lunglai. Angkutan kota itu diisi oleh tiga orang; satu supir dan dua penumpang yang duduk di kursi belakang saling berhadapan, dengan kursi yang memanjang.
Supir itu cukup tua, badannya ringkih, keriput menjalar di sekujur wajahnya yang hitam legam karena ditimpa oleh cahaya matahari yang arogan setiap harinya. Rambutnya memutih, wajah tirusnya menonjolkan rahangnya yang keras, di sela-sela lehernya terjuntai sebuah handuk putih yang berubah warna kekuningan akibat keringat yang menghiasinya.
Ini penumpang terakhir di hari ini, Supir itu hendak segera menuju rumah. Ia sudah janji kepada istrinya untuk mengantar anak bungsunya yang sedang sakit ke puskesmas nanti sore. Anaknya batuk-batuk terus selama dua minggu terakhir ini, ia tidak tega membiarkan anaknya yang berumur lima tahun itu menderita dengan batuk yang terus menerus datang dengan diselingi oleh darah yang sesekali menyembur tatkala ia batuk.
Dengan fokus yang tinggi ia menyetir mobil angkutan kota itu. Jalan-jalan beraspal panas ia lalui dengan perlahan, terik matahari mulai menyisakan sedikti panasnya, jalan-jalan yang dilaluinya sudah semakin ramai dipenuhi oleh para pengendara yang bergegas menuju rumah masing-masing sepulang kerja atau entah kemana saja selagi jalanan aspal mengantar mereka. Badan jalan mulai dipenuhi oleh tenda-tenda yang dibangun oleh pedagang-pedagang kaki lima yang biasanya berjualan di sore hingga malam hari.
Tepat di persimpangan terakhir menuju terminal dua orang penumpang turun. Dengan rasa syukur supir mengambil ongkos terakhir dari penumpang itu. Ini yang terakhir, gumam supir dengan wajah yang sedikit layu.
Ia kembali membawa mobil kuning itu menuju terminal. Terminal ini masih ramai, terminal yang menghubugkan antar kota dan labupaten yang menjadi pintu masuk ke kota ini. Terminal ini masih ramai, namun tidak seramai sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu.
Supir tua itu memarkir mobil angkutan kotanya di jejeran mobil-mobil angkutan kota lainnya. Letih masih menjulur di sekujur tubuhnya, peluh juga terpancar di wajahnya. Ia keluar dari angkutan kota itu sembari melap peluh dengan handuk putih di lehernya, ia menuju warung rokok yang tidak jauh dari tempat parkir ini.
Supir tua itu menghempaskan pantatnya di kursi kayu tepat di depan meja warung rokok, ia memesan kopi panas. Seperti biasa ritual para sopir disini, sehabis mengantar penumpang kemudian memilih unutk istirahat sejenak dengan ditemani segelas kopi dan sebatng atau dua batang rokok kretek.
Sambil menyeruput kopinya, ia tertegun mengingat nasibnya kini. Kini bekerja sebagai ssupir angkutan kota tidak bisa betul-betul menopang hidupnya, setiap hari penghasilannya tidak seberapa, setelah dipotng dengan setoran ke pemiliki kendaraan, ia hanya membawa pulang beberapa lembar uang saja ke rumah, uang itu hanya cukup untuk makan keluarganya, bahkan kekurangan, istrinya kerap kali harus berhutang ke tetangga atau warung untuk bisa tetap makan setiap harinya. Bahkan anaknya yang kecil-kecil tidak ia sekolahkan, karena uang untuk membeli seragam berwarna merah putih itu tak sanggup ia beli.
Kondisi ini jauh berbeda dibanding dahulu, tatkala mobil-mobil pribadi tidak banyak berkeliaran di kota ini, ketika sepeda motor tidak begitu mudah untuk didapatkan, ketika orang banyak masih menjadikan angkutan kota sebagai pilihan dan alat transportasi wajib yang mengantarkan mereka ke manapun mereka kehendaki di seluruh kota ini. Iya, sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, ketika uang yang didapatkan ia habiskan untuk minum-minuman keras bersama teman-temannya, ketika ia dapat bermalam di pondok-pondok remang-remang, ketika ia dapat memuaskan semua hasrat masa mudanya, masa mudanya, dulu.
Lamunannya terhenti ketika seseorang menepuk bahunya. Temannya sesama sopir itu mengambil duduk di sebelahnya.
“Kenapa kok mukamu kusut gitu?” Tanya temannya.
“Saya Cuma mikir kalau jadi sopir sekarang ini susah, susah dapat penumpang, susah dapat uang, susah semuanya.”
“Terus kamu mau berhenti jadi sopir?”
“Iya. Saya capek, kerja dari pagi sampai sore, tapi uang yang dibawa pulang cuma sedikit.”
“Lantas kamu mau kerja apa?”
“Jadi tukang parkir mungkin, kan sekarang ruko-ruko semakin banyak, mini market sudah berjamur, trotoar-trotoar sudah jadi tempat parkir yang bagus dan luas. Uang yang akan kita dapat jadi tukang parkir pasti lebih banyak dibanding jadi sopir.”
“Kapan kamu mau jadi tukang parkir?”
“Besok, hari ini terakhir saya nyupir, sudah capek.”
Supir tua itu dengan segera meminum habis kopinya. Ia beranjak bangun dari warung itu. Hendak ditahan oleh temannya itu, namu ia memilih untuk segera pulang. Ia teringat anaknya yang harus segera dibawa ke puskesmas. Sebelum meninggalkan warung itu, ia memberikan beberapa logam uang rupiah ke ibu penjaga warung.
Dengan sedikit lunglai tubuh tuanya ia geret menuju rumahnya. Rumahnya sekitar seratus meter dari terminal ini. Tubuhnya yang kurus tersengat matahari yang mulai temaram menuju sore hari, angin kering menerpa wajahnya yang kurus dan kusam menandankan musim kemarau yang kering akan berlangsung dengan lama.
Ah, percuma saja musim dipikrkan olehnya, biarpun itu musim kemarau atau musim hujan tetap saja angkutan kota yang setiap hari ia bawa tak pernah terisi dengan penuh. Sudah sangat lama bahkan sangat lama ia merasakan angkutan kotanya penuh di kala hujan menyerbu kota ini, orang-orang akan memilih naik angkutan kota untuk pergi kemana saja, kehangatan yang terbentuk di dalamnya akan memberikan keterduhan yang nyaman dikala hujan yang datang dengan dingin menyengat. Atau ketika musim kemarau sepertia saat ini, orang banyak akan memilih naik angkutan kotanya untuk menghindari sengatan matahari di atas kepala mereka.
Kini, setelah sepeda motor menjadi milik banyak orang, jalan raya yang dahulu lengang berubah menjadi lautan sepeda motor, bahkan mobil pribadipun jumlahnya sudah banyak berseliweran. Kendaraan-kendaran pribadi sudah menggusur angkutan-angkutan kota ke gudang-gudang pemilik mereka, supirnya banyak yang memilih beralih pekerjaan agar tidak ikut terlindas dengan banjirnya kendaraan pribadi.
Wajah kusam dan hitam legam milik supir tua itu mengeras. Ia sudah benar-benar bosan menjadi supir angkutan kota lagi. Ia sudah memutuskan dengan bulat, ia akan beralih pekerjaan menjadi seorang tukang parkir. Setidaknya ia bisa mendapatkan penghasilan dengan mengambil uang dari pemilik kendaraan pribadi yang memarkir kendaraannya di tempat-tempat parkir, baik yang legal ataupun tidak.
Dengan sedikit lunglai ia melangkah menyusuri jalanan berdebu. Celana jins tuanya sudah begitu kotor tertimpa debu dan berbagai macam kotoran yang ada di sepanjang jalan. Namun ia tetap malangkah dengan mantap, walau kadang angin menuju senja menghantamkan kepedihan di hatinya, setiap kali ia mengingat mobil kuningnya yang biasa ia bawa akan lepas untuk selamanya berganti dengan rompi bertuliskan juru parkir.
Matahari sudah benar-benar condong, cahayanya menimbulkan siluet para pejalan kaki dan kendaraan yang lalu lalang di sepanjang jalanan beraspal. Supir tua itu pun kini sudah hampir dekat menuju rumahnya, gubuk yang ia anggap surga setelah seharian bekerja mencari dan mengantar penumpang ke seantero kota. Rumah yang akan menyambutnya dengan tatapan penuh harap dari istri dan kelima anaknya, harapan akan uang belanja, harapan akan uang jajan, harapan akan baju baru, harapan akan sekolah, dan harapan akan hidup yang lebih baik. Namun sayangnya, semua berakhir dengan harapan.
***
Jalanan tanah sudah terhampar di kaki supir tua itu, ini menandakan tidak berapa lama lagi ia akan sampai ke rumahnya, gubuknya. Matanya tiba-tiba terbelalak, di depan rumahnya orang banyak berkumpul. Segera ia bergegas berjalan ke rumahnya. Ia dapati tetangganya duduk-duduk di pekarangan rumahnya dengan dialasi tikar, lantai rumahnya juga sudah diselimuti tikar dari daun pandan.
Ia tercenung, bingung melihat keadaan rumahnya seperti ini, ia berfikir tadi pagi tidak ada pemandangan seperti ini, hendak ada acara pun ia tidak pernah rencanakan. Tetangga-tetangganya menatap supir tua itu dengan tatapan sendu, air muka mereka menyampaikan kesedihan.
“Ada apa ini ?” tanya supir tua kepada tetangganya yang berdiri di depan pintu gerbang rumahnya.
“…” tetangganya diam.
Segera supir tua itu masuk ke dalam rumahnya, ia kaget melihat pemandangan yang tersaji di ruang tamu mungil rumahnya. Anaknya yang akan ia antarkan ke puskesmas sore ini, tertidur dengan pulasnya, anaknya dikelilingi oleh istrinya dan anak-anaknya yang lain serta keluarganya, juga beberapa orang tetangga.
Anaknya itu tidur dengan wajah teduh tanpa penderitaan, tidak seperti akhir-akhir ini ketika ia letih menahan batuk.  Di wajahnya tersirat senyum yang melambangkan kemerdekaan dunia. Supir tua itu tiba-tiba tercekat, wajahnya tegang, tubuhnya kaku dan sedikit bergetar melihat anaknya yang tidur pulas itu. Anaknya sedang tidur pulas, tidur dengan diselimuti kain kafan di sekujur tubuhnya.



Lombok, September 2012

Komentar