Oleh: Atanasius Rony Fernandez
Mataku menggeliat lemah. Kini aku berada di sebuah ruang perkantoran mewah. Aku menyaksikan tubuhku sedang duduk di belakang meja kerja mewah lengkap dengan stelan jas dan kemeja merek ternama. Aku bingung apakah itu tubuhku, kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri seperti melihat bayangan di cermin, namun dengan posisi yang berbeda. Sepertinya tubuhku yang aku lihat tidak menyadari kehadiaranku–dirinya beberapa waktu kedepan yang sedang asik menikmati dirinya.
Lembab, dingin, bau dan kotor. Itu yang aku rasakan dari
lantai yang ada di sekelilingku. Di kiri-kananku tergeletak beberapa orang yang
sedang masuk dan merajuk ke dalam dunia mimpi mereka yang mungkin saja lebih
indah dari dunia mereka saat ini.
Aku sendiri terjaga menatap langit-langit ruangan lembab
berukuran tujuh kali tujuh meter sembari menahan sakit di sekujur tubuhku yang
ringkih. Wajahku bonyok, hidung mengeluarkan cairan merah, darah mengental yang sudah lama mengering, kepalaku
mengalirkan darah yang terus menetes mencari muara laut yang sudi menampungnya,
dan sekujur badanku dipenuhi dengan lebam dan luka menganga yang mengerikan.
Ruangan ini gelap, aku masih bingung, ruangan apakah ini? Kiri kananku berjejal orang-orang yang belum aku tahu siapa
mereka. Namun ada satu petunjuk yang bisa dijadikan secercah cahaya yang bisa
menunjukkan dimanakah aku tergeletak saat ini. Empat dinding yang mengapit aku
dan orang-orang disebelahku ternyata memiliki satu dinding yang berbeda,
dinding itu bukan dari tembok melainkan dari besi-besi bulat panjang yang
disusun secara vertikal dan horisontal sedemikian rupa, kira-kira sela-selanya berjarak lima belas sentimeter.
Sela-sela besinya mengalunkan dingin yang sendu.
Tembok aneh itu, memberikan jawaban atas pertanyaan akan ruangan
ini, penjara. Tapi, aku masih bingung, benarkah aku berada di dalam penjara?
Sebuah sel yang menjadi pembaringanku saat ini tidak pernah terlintas dalam
bayangan, bahkan mengingatnyapun aku enggan dan tak sudi. Di negeri antah
berantah tempat tinggalku saat ini, penjara merupakan tempat terburuk yang
pernah ada. Hanya sampah dan anjing kurap yang pantas mendekam di dalamnya.
Bahkan menurut penjelasan guru sekolah dasarku dulu, para napi yang mendiami
penjara akan diberi makan nasi kualitas terburuk dengan lauk kotoran mereka
masing-masing. Ini sangat menjijikan.
Tiba-tiba setetes air jatuh di dahiku. Sepertinya atap ruangan
ini mengalami kebocoran. Seketika itu pula ingatanku berputar, membawa aku yang
sedang terbaring ringkih dan layu bagai dedaunan kering yang siap dibakar dalam
kerumunan sampah, terbang menuju
dimensi waktu beberapa jam ke belakang. Dengan diiringi alunan angin yang syahdu menutup mataku yang luruh bersama waktu.
dimensi waktu beberapa jam ke belakang. Dengan diiringi alunan angin yang syahdu menutup mataku yang luruh bersama waktu.
Mataku menggeliat lemah. Kini aku berada di sebuah ruang perkantoran mewah. Aku menyaksikan tubuhku sedang duduk di belakang meja kerja mewah lengkap dengan stelan jas dan kemeja merek ternama. Aku bingung apakah itu tubuhku, kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri seperti melihat bayangan di cermin, namun dengan posisi yang berbeda. Sepertinya tubuhku yang aku lihat tidak menyadari kehadiaranku–dirinya beberapa waktu kedepan yang sedang asik menikmati dirinya.
Tubuhku tengah sibuk-sibuknya mengetik di komputer jinjingnya
yang bermerek terkenal, bahkan jadi ikon komputer jinjing tercanggih di negeri
antah berantah. Kemudian suara telepon di sebelah tubuhku terdengar nyaring,
mengagetkan tubuhku yang sedang asik masyuk dengan komputer jinjingnya. Ia
mengangkat gagang telepon, namun sayang aku tidak mendengarkan apa yang
dibicarakan oleh si penelepn di seberang sana.
“beres bos, itu semua bisa diatur” tubuhku berbicara dengan
gagang telepon di tangannya, sembari tersenyum culas, “yang penting sesuai
dengan ongkosnya.”
Tubuhku terdiam sesaat.
“oke bos, beres.” Ia menaruh kembali gagang telepon, wajah
tubuhku tersenyum puas, culas, dan beringas.
Tak berapa lama, aku mendengar suara riuh keramaian kian
mendekat di luar sana, di luar gedung tempat meja kerja tubuhku ini berada. Aku
mencoba menuju jendela terdekat. Baru aku sadar gedung ini bertingkat. Aku
melihat gerombolan orang berbaju hitam dengan atribut berupa bendera, spanduk,
dan, sebentar, ada yang aneh, mereka membawa pentungan, rantai motor beserta
girnya, dan ada beberapa yang membawa golok. Wajah mereka memerah, ada api di setiap mata mereka yang siap
membakar apapun yang dilihatnya. Sekilas aku melihat nama dari bendera yang
mereka bawa, Front Pembela Rakyat Miskin.
Gerombolan yang kira-kira berjumlah tiga puluhan orang itu
sudah masuk ke halaman gedung ini. Namun mereka belum bisa masuk ke dalam gedung, karena terhalang oleh para
pengaman gedung yang berbadan tinggi dan tegap. Aku mendengar mereka berteriak
memanggil sebuah nama.
“Hartomo keluar kau! Jangan jadi pengecut, pemakan uang
rakyat…” begitulah kata-kata yang sekilas aku dengar. Dan aku cukup terkejut,
mereka ternyata memanggil namaku. Tubuhku yang sedang asik masyuk di depan komputer
jinjingnya ternyata tertarik juga dengan suara gerombolan yang
memanggil-manggil namanya. Tubuhkupun beranjak dari kursinya dan berjalan
menuju jendela tempatku berdiri saat ini. Ia melirik ke halaman gedung tempat
gerombolan itu berkumpul.
Gerombolan itu terus merangsek masuk ke dalam gedung, namun terhalang oleh pagar betis pengaman gedung.
Mereka terus berteriak menyebut namaku, sambil mengacungkan benda tumpul maupun
tajam yang mereka bawa. Entah karena jumlah gerombolan yang lebih banyak
dibanding para pengaman gedung atau karena dorongan setan yang ada di dalam
otak mereka, gerombolan itu mampu menembus penjagaan para pengaman gedung.
Melihat pemandangan itu, tubuhku yang berdiri di sampingku
langsung ketakutan. Keringat dingin membanjiri tubuhnya yang bersih dan rapi,
seolah AC yang menyala begitu dingin di ruangan ini tidak mampu menghapus panas
yang ada di tubuhnya. Wajahnya menampakkan rasa takut yang begitu dalam, sama
seperti air muka seseorang yang baru saja menyaksikan penampakan setan. Tubuhku
kemudian bergegas kembali menuju meja kerjanya, ia mengambil komputer
jinjingnya memasukkan ke dalam tas kerjanya dan dengan sangat tergesa-gesa
berlari ke luar ruangan. Aku yang berdiri di dekat jendela dengan segera
berlari mengikuti dia dari belakang.
Namun semua sudah terlambat, baru beberapa langkah ia
berjalan dari ruangannya ingin menuju lift terdekat, dari lift itu ternyata
keluar belasan anggota gerombolan itu. Mereka langsung mengejar tubuhku yang
berdiri kaku, ia kalut dan takut. Pukulan mendarat tepat di wajah tubuhku,
tubuhku langsung tersungkur, sepersekian detik kemudian, hantaman dari benda
tumpul bertubi-tubi bersarang di tubuhku.
Aku yang melihat kejadian ini tidak bisa berbuat apa-apa, aku
mencoba berteriak namun suaraku tercekat, aku mencoba bergerak, tak sesentipun
tergerak, bahkan menangis karena melihat tubuhku dipukulipun aku juga tak bisa.
Tak berapa lama seorang anggota gerombolan yang usianya cukup
tua berteriak kepada gerombolan yang sedang asik mendaratkan pukulan dan
hantaman ke tubuhku, sepertinya ia tetua di gerombolan itu.
“Cukup! kita bawa dia ke halaman.” ia menunjuk tubuhku, “buka
bajunya, botakin rambutnya !” teriaknya lagi.
Tubuhku yang baru saja bercumbu dengan pukulan dan hantaman
benda tumpul tampak sangat mengenaskan, di sekujur tubuhnya nampak lebam dan
ada beberapa luka menganga di sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki. Bahkan wajahnya yang rapi ketika di dalam
ruangan tadi sudah tidak berbentuk lagi, apakah itu muka atau kotoran sapi yang
banyak ditemukan di lapangan rumput, entahlah.
Gerombolan itu mulai melucuti pakaian tubuhku satu persatu,
yang tersisa hanya celana dalam hitamnya. Ada yang memotong rambut tubuhku
dengan golok yang dibawanya. Tubuhku di gelandang ke lift menuju lantai dasar.
Di lantai dasar tubuhku dan gerombolan yang menyeretnya sudah disambut oleh
anggota gerombolan yang lainnya. Mereka bersorak sorai seperti baru saja
memenangi perang. Mereka kemudian serentak bersama-sama berteriak.
“Ganyang koruptor….Ganyang koruptor…!!!”
Aku tersentak, apakah tubuhku seorang koruptor ? Tubuhku
digiring menuju tiang bendera di halaman gedung kantor ini, aku melihat gedung
ini bertuliskan ‘Kantor Pajak’. Tubuhku diikat tepat dibawah tiang bendera.
Setelah tubuhku diikat, serentak gerombolan itu menyerbu tubuhku, mereka
kembali melancarkan pukulan, tendangan, dan hantaman senjata yang mereka bawa
ke sekujur tubuhku. Tubuhku bagai bangkai yang diserbu olah burung nasar,
burung pemakan bangkai yang mencabik-cabik habis bangkai bersama gerombolannya.
Melihat tubuhku yang tergantung lunglai menahan perih, aku
merasa begitu sedih. Mengapa di negeriku ini seorang pelaku korupsi menjadi bulan-bulanan
aksi keji para gerombolan yang sangat gemar bermain hakim sendiri. Coba bandingkan
dengan negeri sebelah. Disana koruptor diberi kenyamanan, dijemput dengan mobil
mewah, memakai jas, penjara mereka pun layaknya hotel berbintang lima. Bahkan mereka
tidak perlu berlama-lama menghabiskan masa hukuman, jika punya uang banyak,
cukup membayar petugas, bebas keluar dengan alasan remisi, habis perkara.
Bahkan jika beruntung mereka akan dibebaskan oleh pengadilan, bukti tidak cukup
alasannya.
Apa yang dialami tubuhku saat ini malah sering dialami olah
rakyat miskin yang kebetulan kedapatan mencuri ayam di negeri sebelah, atau
memungut kelapa jatuh yang kebetulan dilihatnya dan disangka ia mencuri, atau
perkara-perkara ringan lainnya. Mereka akan dihukum, dipenjara di sel yang
lembab, berdesakan dengan sesama orang miskin lainnya.
Dan lucunya, di negeriku yang antah berantah ini, perlakuan
seperti koruptor di negeri sebelah malah sering dialami oleh para pencuri ayam,
pencopet, dan kejahatan-kejahatan ringan lainnya. Mereka akan diberikan
kemudahan dan keleluasaan oleh pihak yang berwenang karena dianggap melakukan
kejahatan ringan, dan merekapun akan senang.
Aku menerawang melihat tubuhku yang masih menjadi santapan
para gerombolan itu, seandainya tubuhku tidak berada di negeri ini dan berada
di negeri sebelah, sudah barang tentu tubuhku tidak akan mengalami hal
menjijikan seperti ini, karena ia koruptor seorang dewa di negeri sebelah.
“Bakar…Bakar…!!!”
Lamunanku buyar, mendengar teriakan para gerombolan itu.
Tidak mungkin, mereka akan membakar tubuhku. Aku ketakutan, sangat ketakutan
tak sadar aku menitikkan air mata merasakan tusukan-tusukan kesedihan di hati
tubuhku yang sekarang menjadi bangkai bernyawa yang siap dibakar oleh gerombolan yang kelaparan.
Tak berapa lama kemudian suara sirine mobil polisi memecah
perhatian aku dan para gerombolan. Suara sirine itu semakin keras mendengung di
telingaku, menghanyutkan aku kembali ke dimensi waktu ke depan, tempat di mana aku
berada sebelumnya. Mataku tertutup, hening.
Benda tumpul menyundul-nyundul kepalaku yang perih, sentuhan
itu membangkitkan rasa sakit dari luka dan lebam di sekujur badanku. Aku
menggeliat. Aku melihat seorang sipir mengorek-ngorek kepalaku dengan tongkat
pemukul, ditangannya juga tergantung sebuah speaker, mungkin itu asal suara
sirine yang aku dengar. Ia melotot kepadaku, di ruangan temaram ini tinggal aku
yang tersisa, orang-orang disebelahku sudah tidak ada.
“Cepat bangun !” hardik sipir itu kepadaku.
“ehh…” aku hanya bisa mendesah.
“Dasar maling, enak sekali kau malas-malasan. Kau hanya bisa
maling ayam saja ya!” teriaknya.
Suaranya masuk ke telingaku, turun ke jantung menghentikan
seketika jantungku yang sedang memompa darah. Aku tercekat, diam.
Di sela-sela jeruji besi aku melihat benda yang tak asing,
tergantung di tembok sebuah burung yang sedang mengepakkan sayapnya
lebar-lebar, di dadanya ada perisai dengan lima lambang berbeda. Ia tampak kaku
dan angkuh. Aku tersadar, aku berada di negeri sebelah.
Abiantubuh, Agustus 2012
Komentar
Posting Komentar